Social Icons

Pages

Kamis, 26 Desember 2013

Hidup di Dunia yang Singkat

Suatu hari seorang ayah mengajak anaknya pergi berziarah ke makam kakeknya. Sang ayah bermaksud mengajarkan kepada anaknya bahwa siapapun akan meninggal dan dikuburkan yang berarti berpindah ke alam kubur sampai kelak datang kiamat. Tidak ada manusia yang hidup kekal di dunia ini. Selain itu sang ayah ingin mencontohkan bentuk bakti kepada anak kepada orang tuanya yang telah meningga dengan mendoakannya.
Anak yang masih berumur 6 tahun tersebut memang baru pertama kali diajak sang ayah berziarah ke pemakaman. Rasa ingin tahunya muncul terlihat dari perhatiannya pada patok-patok dan nisan makam yang ada di sana. Anak itu sering kali berhenti memperhatikan nisan-nisan tersebut. Dia melihat dan membaca apa yang tertulis di nisan. Sang ayah dengan sabar memperhatikan tingkah sang anak tersebut. Dalam hati sang ayah mungkin si anak sedang mencari di mana makam kakek-neneknya.
Namun karena hari sudah beranjak sore maka sang ayah mengajak anak tersebut agar tidak terlalu lama berhenti memperhatikan nisan makam dari orang yang mungkin tidak mereka kenal. Dia lalu menarik tangan anaknya dan berkata, “Ayo Nak.., makam kakek dan nenekmu di sebelah sana, mari kita segera ke sana dan mendoakannya”.
Si anak segera melangkah mengikuti sang ayah seraya berkata ringan ,” Ayah, ternyata di kuburan itu lama juga ya?”.
Sang ayah tersentak. Sejenak dia tertegun. Ternyata yang diperhatikan anaknya tadi adalah tahun-tahun di mana orang yang dikubur itu meninggal. Memang hampir setiap nisan tertulis nama, tanggal/tahun lahir dan tanggal/tahun meninggalnya. Jika diperhatikan memang terdapat variasi dari tahun meninggalnya masing-masing orang yang dikubur di pemakaman tersebut. Mungkin ada yang baru di kubur tadi pagi, kemarin, seminggu sebulan atau tahun lalu. Tetapi banyak juga yang telah dikuburkan puluhan tahun lalu.
Dalam benak si anak mungkin hanya membandingkan betapa tahun-tahun di mana orang yang dikuburkan itu lebih lama dari usianya yang baru 6 tahun. Atau mungkin dia membandingkannya dengan masa-masa bermainnya yang begitu cepat. Namun jika kita perhatikan lebih jauh kenyataanya memang sudah banyak sekali orang yang telah meninggal dan dikuburkan ratusan dan ribuan tahun lalu. Jika kita lanjutkan celoteh anak tadi dengan membandingkan dengan usia hidup manusia yang mungkin berkisar paling lama sampai 100 tahun maka orang-orang yang telah meninggal ratusan/ribuan tahun tadi tentunya telah membuktikan bahwa waktu mereka di alam kubur itu lebih lama dibandingkan dengan waktu hidupnya.
Apa yang membuat sang ayah tertegun adalah celoteh anak itu telah membuka pikirannya bahwa waktu hidup di dunia itu sangat singkat. Bukti bahwa telah banyak yang melewati masanya di alam kubur lebih lama dibanding masa hidupnya dapat kita lihat langsung dari sejarah manusia. Hal ini kemudian membawa kita pada konsep ajaran Islam yang sering diulang-ulang bahwa hidup di dunia itu memang  singkat, diibaratkan persinggahan sejenak seorang musafir dalam perjalanan panjangnya. Bahkan jika dibandingkan kehidupan akhirat dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa hidup di akhirat itu jauh lebih kekal dan lebih panjang di mana 1 hari di akhirat sama dengan puluhan tahun di dunia.
Jika kita mengerti betul tentang hakikat singkatnya hidup di dunia ini maka tentu sangat tidak bijaksana jika hidup ini kita sia-siakan begitu saja. Jangan sampai kita terlena membiarkan setiap detik untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan tak bernilai ibadah. Jangan melewatkan waktu  menguap  cepat tanpa ada guna karena setiap saat yang terlewat dengan cepat tadi akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya kelak.
Terasa baru kemarin kita berada di usia kanak-kanak. Terasa baru saja kita lulus sekolah. Ya, ternyata waktu berlalu sangat cepat. Jangan sampai kita baru menyadari waktu yang telah terlewat namun kita belum memanfaatkannya. Na’udzubillah

Rabu, 02 Oktober 2013

Motivasi Menuntut Ilmu dan Mengamalkannya

Menuntut Ilmu Sejarah pernah mencatat, bahwa imperium Utsmaniyah pernah memiliki peranan yang menentukan dalam percaturan dunia. Bahkan dakwah Islamiyah pernah sampai ke Wina. Sehingga masyarakat barat menjadi tidak tenang. Itu semua bisa terjadi karena umat Islam di waktu itu membekali diri dengan ilmu pengetahuan, di samping memperkokoh keimanan. Bahkan sejarah pernah pula mencatat, bahwa kemajuan peradaban Islam di Eropa, khususnya di Spanyol, tidak terlepas dari ajaran Islam, yang menjunjung tinggi dan mengagungkan ilmu pengetahuan. Kemajuan barat, tidak bisa dipisahkan dari kontribusi Islam. Sebagaimana diungkapkan oleh para ilmuwan mereka dengan tegas mengatakan, bahwa bangsa eropa sangat beruntung dan berhutang budi dengan kedatangan Islam. Banyak ilmu pengetahuan yang ditemukan dan kemudian diadopsinya. Kesan juga diungkapkan oleh ilmuwan barat lainnya, bahwa ilmu pengetahuan yang dibawa Islam, menjadi inspirasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern barat. Saat itulah izzul Islam wal muslimin (kemulyaan Islam dan kaum muslimin) dirasakan oleh dunia. Ini merupakan rahmat besar. Hidup dengan ilmu pengetahuan, disegani dan dihormati oleh bangsa lain. Ini sebagai bukti bahwa Islam adalah agama yang merupakan aturan hidup yang sempurna yang datang dari Allah SWT. 

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘aalamiin. Telah mensyariatkan dan mewajibkannya kepada umatnya untuk menuntut ilmu dan mengamalkannya melalui wahyuNya yang pertama kali turun yakni iqra’ (bacalah). Artinya ini perintah untuk belajar dan menuntut ilmu. (QS At Taubah : 122, Az Zumar : 9 ). 
 
Kata “ilmu” di dalam Al Qur’an dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali. Artinya agama Islam memberi perhatian besar kepada manusia untuk membekali diri dengan ilmu, dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah untuk beribadah kepadaNya dan sebagai khalifatullah di muka bumi ini. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mewajibkan kepada semua umatnya untuk menuntut ilmu. Sebagaimana sabdanya : thalabul ilmi fariidhotun ‘alaa kulli muslimiin wa muslimatun (mencari ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan). Beliau juga mempunyai kebijakan untuk mendorong umatnya terus belajar dan belajar. Misalnya ketika kaum muslim berhasil menawan sejumlah pasukan kaum musyrikin dalam perang Badar. Dengan cara menawarkan mereka, jika mau bebas mereka harus membayar tebusan, atau mengajar baca tulis kepada warga Madinah. Kebijakan ini sungguh cukup strategis, karena mempercepat terjadinya transformasi ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin. 

Kita sebagai orang tua, harus menjadi teladan di tengah keluarga kita masing-masing. Sebagai orang tua juga mendorong penuh agar keluarga kita untuk menuntut ilmu, jangan sampai kita telantarkan mereka. Jangan membiarkan mereka menjadi generasi yang lemah. (An Nisa’ : 9, Maryam : 59). 

Di akhirat nanti jangan sampai anak isteri kita menggugat di pengadilan Ilahi, hanya karena kita tidak pernah menjadi teladan yang baik, di rumah tangga. Hanya karena kita tidak pernah memberi dorongan kepada keluarga untuk hadir di majlis ilmu untuk menuntut ilmu. Allah SWT berfirman dalam surah At Tahrim : 6 yang maknanya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. 

Menuntut ilmu itu adalah bagian dari ibadah. Menuntut ilmu itu adalah suatu kemulyaan. Allah SWT akan mengangkat derajat dan kedudukan orang yang menuntut ilmu. Dan Allah akan mudahkan jalan menuju surga orang yang menuntut ilmu. Allah berfirman dalam surah Al Mujadilah : 11 yang maknanya : Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 

Rasululah SAW bersabda : man salaka thoriqon yaltamisu fiihi ilman, sahalallahu lahu bihi thoriiqon ilal jannah (barang siapa berjalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga). 

Menuntut ilmu disamping ibadah, juga merupakan jihad. Yakni jihad melawan kebodohan. Jihad melawan keterbelakangan. Maka di sinilah diperlukan kesungguhan yang luar biasa. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW : man khoroja fii tholabil ilmi fahuwa fii sabiilillah (barang siapa yang keluar untuk menuntut ilmu maka dia pada jalan Allah). Ilmu adalah cahaya yang menerangi dan menerangi hidup ini. Ilmu adalah petunjuk, sedang kebodohan adalah kegelapan dan kesesatan. (QS Al Maidah : 15-16), yang maknanya : Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. 

16. dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. Ilmu adalah alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana kita akan mengenal Allah kalau kita tidak pernah membekali diri dengan ilmu. Ilmu sekaligus juga sebagai petunjuk keimanan dan beramal sholih. Dengan menuntut ilmu berarti kita telah meneladani sifat Allah yang Mulia yakni Al Aliim. Bukankah kita diperintakan untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Allah telah memberi anugerah kepada penuntut ilmu dengan rahmah dan maghfirohNya. Sehingga energi yang dimiliki oleh orang aliim, diharapkan mampu meningkatkan kualitas manusia dan menjawab berbagai persoalan manusia. Kesesuaian Antara Ilmu dan Amal 

Selayaknya seorang penuntut ilmu antusias untuk mengamalkan ilmu yang telah didapatkannya, sebagaimana antusias dia dalam mencari tambahan ilmu baru. Karena tujuan pokok menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Mengamalkan ilmu juga menjadi pertanda atas nikmat Allah berupa ilmu, yang dengannya Allah akan menambahkan ilmu sebagai ziyadah (tambahan) nikmat atasnya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,” (QS. Ibrahim: 7) 

Maka barangsiapa yang mensyukuri nikmat ilmu dengan amal, niscaya Allah akan menambah nikmat berupa ilmu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Wahid bin Zaid, “Barangsiapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan membuka baginya ilmu yang belum diketahui sebelumnya.” 

Orang yang hanya sibuk mencari ilmu namun tidak berusaha mengamalkannya, seperti orang yang mencari uang, namun ia tidak mampu membelanjakannya, lalu apa gunanya dia mencari uang? 

Abdullah bin Mubarak berkata, “Orang yang berakal adalah, seseorang yang tidak melulu berpikir untuk menambah ilmu, sebelum dia berusaha mengamalkan apa yang telah dia miliki, Maka dia menuntut ilmu untuk diamalkan, karena ilmu dicari untuk diamalkan. 

Tentu saja penekanan beliau adalah motivasi untuk mengamalkan ilmu yang telah dimiliki, bukan mengerem atau menjatuhkan semangat untuk menambah ilmu. Bagaimanapun, kita tetap harus senantiasa menuntut ilmu dan terus berusaha mengamalkan ilmu. Tidak dibenarkan juga seseorang yang tidak sudi menuntut ilmu dengan alasan takut akan tuntutannya. Karena berarti dari awal dia sudah tidak memiliki niat untuk mengamalkan ilmu. Akhirnya ia menjadi orang yang bodoh dari ilmu dan kosong dari amal. Tepat sekali jawaban sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ketika seseorang kepada beliau, “Sebenarnya aku ingin mencari ilmu, tapi aku takut menyia-nyiakannya (yakni takut tuntutan mengamalkannya).” Maka beliau berkata, “Cukuplah kamu dikatakan menyia- nyiakan ilmu jika kamu tidak mau belajar. 

Para ulama memandang, seseorang tidak dikatakan alim (orang yang berilmu) kecuali setelah mengamalkan ilmu yang dimilikinya “Innamal ‘aalim, man ‘amila bimaa ‘alim.”(sungguh orang yang yang alim itu adalah orang yang mengamalkan ilmunya) Imam asy-Sya’bi juga berpendapat bahwa orang yang faqih adalah orang yang benar-benar menjauhi segala yang diharamkan Allah SWT dan alim adalah orang yang takut kepada Allah SWT. Jika kita menengok para ulama salaf dan para Imam yang bertabur ilmu, akan kita dapatkan bahwa mereka bukan sekedar ahli ilmu, tapi juga ahli ibadah. Bukan sekedar ibadah yang wajib dan yang tampak, tapi juga ibadah yang sunnah dan yang tersembunyi. 

Seperti Imam Abu Hanifah rahimahullah. Beliau biasa menghidupkan separuh malamnya. Hingga pada suatu hari beliau melewati suatu kaum, dan beliau mendengar mereka berbisik, “Orang ini (yakni Abu Hanifah), menghidupkan malam semuanya untuk ibadah.” Maka Abu Hanifah berkata, “Sungguh! Aku malu kepada Allah, jika aku disebut-sebut dengan sesuatu yang tidak aku lakukan.” Lalu setelah itu beliau selalu menghidupkan malamnya semua. 

Imam asy-Syafi’I berkata : “Sudah sepantasnya seorang penuntut ilmu itu memiliki suatu rahasia antara dia dengan Allah, yakni berupa amal shalih, tidak hanya mengandalkan banyaknya ilmu namun sedikit harapannya untuk akhirat.” 
 

Jumat, 12 Juli 2013

Puasa, Momentum Perubahan Menuju Pribadi Yang Bertakwa

Marhaban Ya Ramadhan.Allah swt. kembali menyuguhkan bulan Ramadhan yang mulia kepada kita. Bulan yang penuh rahmat, keberkahan, dan pengampunan. Bulan pertama kali diturunkan Al Quran kepada Nabi Muhammad saw. Bulan di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Setan-setan dibelenggu, pintu neraka dikunci, dan pintu surga dibuka selebar-lebarnya. Bulan Ramadhan adalah bulan anugrah bagi umat Islam, karena kita diberi kesempatan untuk kembali menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah swt., setelah selama sebelas bulan kita banyak melalaikan segala perintahNya dan terlena dengan kehidupan dunia.
Siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadlan dengan dilandasi keimanan dan semata mengharap ridla Allah swt. akan keluar dari dosa-dosanya seperti keadaan saat ia keluar dari rahim ibunya. Pahala berbagai amal pun dilipatgandakan oleh Allah swt. hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih. Bulan Ramadlan merupakan bulan sabar, bulan jihad, dan bulan kemenangan, serta bulan pembentuk ketqwaan.
Bukan hanya itu, bulan Ramadlan merupakan bulan membaca Al Quran, bulan mengeluarkan zakat fitrah, bulan memakmurkan masjid, bulan taubat kepada Allah swt., bulan ishlah antar sesama kaum muslim, bulan silaturrahim, bulan menolong mereka yang membutuhkan, bulan menjaga lisan dan perbuatan, bulan pembaharuan dan pengokohan iman, serta bulan penyucian hati dan pikiran.
Menuju Ketaqwaan yang Sesungguhnya
Ramadhan adalah bulan pembentuk pribadi yang bertaqwa. Yaitu pribadi yang senantiasa berupaya melaksanakan apasaja yang diperintahkan Allah swt. dan menjauhi apasaja yang dilarang-Nya. Dia berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ .
 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” (QS. Al Baqarah:183)
Dalam ayat ini Allah swt. menjelaskan bahwa inti dari puasa bulan Ramadlan itu adalah menjadikan manusia sebagai pribadi yang  bertaqwa. Imam Al Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, halaman 121, mengatakan, bahwa pribadi yang bertaqwa adalah pribadi yang memiliki perasaan takut yang sangat kepada Allah swt, hanya ber­bakti dan tunduk kepada-Nya, serta membersihkan hati dan perbuatan dari segala dosa. Dengan begitu ia tidak akan berani sekecil apapun melanggar aturan Allah swt.
Ketaqwaan yang tulus haruslah ditunjukkan oleh lisan, hati, dan perbuatan seseorang. Allah swt. memerintahkan kita agar mengikuti seluruh yang dibawa Rasul saw. dan mencegah diri dari seluruh larangan yang disampaikan Rasul saw. Allah swt. berfirman:
“Apa saja yang dibawa Rasul kepada kalian maka ambillah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.” (QS. Al Hasyr [59]:7)
Jadi taqwa merupakan ketaatan total kepada Allah swt. dengan cara mengikuti setiap hukum dan aturan-Nya yang diwahyukan kepada Rasulullah saw. Allah swt. berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian semua ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh nyata bagimu. Tetapi, jika kalian menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al Baqarah [2] : 208 – 209).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sebagian orang-orang Yahudi yang masuk Islam menyangka bahwa keimanan mereka tidak ternodai sekalipun mereka tetap meyakini sebagian isi Taurat. Namun, Allah swt. menjelaskan bahwa masuk kedalam iman mengharuskan beriman kepada suluruh apa yang diturunkan Allah swt. berupa Islam ini. Bila tidak, berarti ia telah mengikuti syaithan yang sebenarnya merupakan musuh yang nyata. Saat itulah turun surat Al Baqarah [2] ayat 208 dan 209 tadi. Lebih jauh beliau memaknai ayat ini dengan menyatakan ‘Allah swt. memerintahkan kepada kaum beriman dan meyakini kebenaran Rasulullah Muhammad saw. untuk mengambil seluruh ajaran Islam dan syari’atnya, melakukan semua perintah-Nya dan meninggalkan apa pun yang Dia larang dengan sekuat tenaga’. (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, I, halaman 307 – 308).
Bulan Ramadlan merupakan saat yang tepat bagi kita untuk menjadi orang-orang yang melakukan ketaatan penuh kepada Allah swt. menjadi pribadi yang bertaqwa yang menjalankan hanya hukum dan aturan-aturan-Nya saja baik dalam hal yang berkaitan dengan pribadi, masyarakat, maupun negara.
Perbanyak Ibadah
Untuk menjadi pribadi yang bertaqwa sebagaimana hikmah disyariatkannya puasa Ramadhan hendaknya kita menjadikan Ramadhan sebagai ajang latihan untuk seterusnya menjadi pribadi yang taat dan gemar beribadah kepada Allah swt.  Beberapa kegiatan ibadah ini bisa kita jadikan sebagai amalan dibulan Ramadhan yang akan kita jalani:

  1. I’tikaf. Yaitu diam di masjid dengan niat yang khusus dan disertai ibadah. Imam Nawawi dalam kitab An-Nihayah mengartikan i’tikaf sebagai menetapi sesuatu dan menempatinya. Maka orang yang menetap di masjid dengan melaksanakan ibadah di dalamnya disebut orang yang beri’tikaf. Rasulullah saw. biasa melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir ramadhan. Ibnu Umar ra. Berkata:
 « كَانَ رسولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ  العَشْرَ الأوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ »
Rasulullah saw. beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan. (HR. Mutafaq ‘alaih)
  1. Memperbanyak bersedekah. Ibnu Abas ra. berkata:
« كَانَ رَسُوْلُ اللهِ، صَلىَّ الله عليه وسلم، أَجْوَدَ النَّاسِ،
وَكَانَ أَجْوَدُ مَا َيكوُنْ ُفِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ ».
Rasulullah saw. adalah orang yang sangat dermawan kepada siapapun, dan pada bulan ramadhan beliau lebih dermawan lagi saat Jibril menemui beliau. (HR. Mutafaq ‘alaih)
  1. Memperbanyak membaca al-Qur’an. Karena pahala membacanya akan dilipatgandakan melebihi pahala pada bulan selain ramadhan. Selain itu bulan ramadhan adalah bulan dimana al-Qur’an diturunkan pertama kali. Oleh karenanya para ulama terdahulu lebih banyak mengkhatamkan al-Qur’an dibulan ramadhan. Imam Syafi’i biasa mengkhatamkannya sebanyak 60 kali pada bulan ramadhan lebih banyak dari bulan lainnya yang hanya satu kali dalam sehari semalam. Malaikat Jibril senantiasa mendatangi Rasulullah saw. pada bulan ramadhan untuk membacakan al- Qur’an kepada beliau. Ibnu Abas berkata: Jibril menemui Rasulullah saw. pada setiap malam dibulan ramadhan kemudian ia membacakan Qur’an kepada beliau saw. (HR. Mutafaq ‘alaih)
  1. Bersungguh-sungguh memperhatikan lailatul qadr pada sepuluh malam terakhir. Rasulullah saw. bersabda:
« تَحَرَّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ في الوَتْرِ مِنَ العَشْرِ الأوَاخِرِ
مِنْ رَمَضَانَ. »
Carilah lailatul qadr pada tanggal ganjil di sepuluh malam terakhir bulan ramadhan. (HR. Bukhori)

  1. Melakukan ibadah umrah. Rasulullah saw. bersabda: “Umrahlah kamu pada bulan ramadhan, karena umrah pada bulan ramadhan sebanding dengan melaksanakan ibadah haji.” (HR. An-Nasai)

  1. Berjihad di jalan Allah. Dari Abu Sa’id Khudri radhiyallah ‘anhu, Rasulullah saw. bersabda:
« مَامِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا ِفيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِذَلِكَ
الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفاً. »
Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari dalam (perang) di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya -karena hari tersebut- dari neraka sejauh (perjalanan) 70 tahun. (HR. Mutafaq ‘alaih)
  1. Memperbanyak berdo’a. Dari Aisyah ra. ia berkata kepada Rasulullah saw. Ya Rasulullah, bagaimana jika suatu malam aku mengetahui bahwa itu malam lailatul qadar, apa yang harus aku baca? Beliau bersabda, bacalah;
« اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنّي. »
Ya Allah, sesungguhnya Engkau maha pemaaf, Engkau menyukai permintaan maaf maka ampunilah aku. (HR. Tirmidzi)

  1. Memperbanyak shalat sunnah.
« مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إيمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. »
Barangsiapa yang bangun (untuk shalat) pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Mutafaq ‘alaih)
Semoga kita menjadi manusia yang akan meraih ketaqwaan dengan kembali datangnya bulan suci Ramadhan tahun ini. Untuk itu kita harus bekerja keras dan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Hati-hati terhadap bujuk rayu syaithan yang akan senantiasa mengintai manusia untuk menggelincirkan manusia dari jalan yang benar menuju kesesatan. Kita sambut Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan yang dalam agar kita sukses dan dapat meraih kemuliaannya. Amin.

Maksiat menyebabkan berbagai bencana

“Musibah yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan kalian. Dan Allah memaafkan sebagian besar darinya“ (As-Syura 30).Bila rezeki kita kini terpuruk, jangan dulu berprasangka buruk, tapi siapa tahu masa lalu kita memang berlumur amal buruk. Rasulullah SAW bersabda, “Takutilah dosa, karena dosa itu akan menghancurkan kebaikan. Ada dosa yang menyebabkan rezeki tertahan, walaupun sudah dipersiapkan kepadanya“. Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW bersabda “Manusia tidak akan binasa sebelum mereka banyak melakukan dosa“.

Allah SWT berfirman, “Maka setiap-tiap (orang, golongan, kaum atau bangsa) Kami siksa karena dosanya.Ada di antaranya yang Kami tumpahkan hujan lebat (sampai banjir besar atau berjangkitnya penyakit), ada yang dihukum dengan suara guntur dan kilat sabung-menyabung ; ada lagi yang Kami benamkan ke dalam perut bumi; dan ada pula yang Kami tenggelamkan di tengah lautan. Semuanya itu bukanlah karena Tuhan menganiaya mereka, melainkan mereka menganianya diri sendiri“ (Al Ankabut 40). Pada waktu akhir-akhir ini beruntun – runtun terjadinya bencana yang menimpa manusia. Baik di tanah air kita maupun di berbagai benua di seluruh dunia, baik berupa bencana alam maupun berbagai peristiwa sedih lainnya.

“Tidaklah sekali-kali bangsa mengalami kehancuran, kalbu manusia menjadi rusak, rumah tangga berantakan; berbagai pendapat saling berseberangan; dan pemikiran menjadi kacau balau, kecuali karena berbagai macam dosa dan kedurhakaan telah membudaya di kalangan umat manusia,” demikian antara lain tulis Dr.’Aidh bin ‘Abdullah Al Qarni dalam buku ‘ Hidupkan Hatimu.’ Maksiat akan menghalangi seseorang mendapatkan kebahagiaan sejati. Hal itu karena pelaku maksiat di akhirat akan mendapatkan hukuman dari Allah. Sedangkan di dunia orang yang bermaksiat tidak akan mendapatkan ketenangan dalam hidupnya. Hal ini bukan hanya diakui oleh orang yang beragama Islam saja, namun diakui oleh manusia pada umumnya.Yaitu mereka yang memiliki hati nurani . “Hati nurani bagaikan black box ‘kotak hitam‘ yang merekam segala ‘ceritera‘ hidup ini. Kejadian demi kejadian dari waktu ke waktu direkam dengan apik oleh hati nurani. Saat inipun kita bisa kembali membuka rekaman yang terjadi sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Apakah kita melakukan dosa besar? Semua bisa kita ingat. Karena itulah, Allah menjadikan hati nurani bersaksi di hadapan Allah pada hari kiamat (QS.Al Aadiyaat 10). Jangan pernah bangga berhasil mendustai orang lain. Bersedihlah karena sebelumnya, kita mendustai diri kita sendiri. Jangan pernah merasa selamat dari dosa yang kita sembunyikan selama ini karena semua akan tampak di hari ‘persaksian,‘ demikian antara lain kilah M.Arifin Ilham dalam artikelnya ‘Hati Nurani‘. Salah satu contoh, demonstrasi rakyat Amerika terhadap invasi Amerika ke Irak adalah bukti konkrit bahwa pada dasarnya maksiat, kezaliman, penganiayaan itu tidak membuahkan kebahagiaan. Bahkan menurut Sokrates, orang yang berbuat kriminal lebih menderita daripada korbannya meskipun ia tidak dihukum karena kejahatannya, namun ia adalah orang yang paling menderita. Kadang ada kasus kejahatan yang pelakunya sulit dilacak. Berbagai usaha telah dilakukan namun gagal. Ternyata, orang tersebut malah menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib. Hal itu dilakukannya karena ia merasa selalu dijerat dosa.(Buku Menggapai Kebahagiaan Sejati oleh Muhammad Syafii Masykur).

Dalam buku ‘Puasa Lahir Puasa Batin‘ oleh Malaki Tabrizi antara lain disebutkan banyak yang hadis yang mengemukakan bahwa apabila sekelompok orang yang sedang duduk-duduk di suatu tempat, kemudian mereka beranjak menunaikan suatu perbuatan baik, maka setiap butir tanah yang dipijaknya akan berdoa dan meminta ampunan Allah SWT (beristighfar ) bagi mereka. Namun sebaliknya, apabila mereka terjerat kesibukan melakukan dosa, maka setiap keping tanah akan mengutuk mereka.

Jadi ada hubungan langsung antara eksistensi manusia dan lingkungan alam (dunia) ini. Apabila ia berdosa, semua makhluk mengutuknya.Karena seorang pendosa melangkah kearah yang bertentangan dengan tujuan suci penciptaan manusia.Dengan kata lain, tiap perbuatan dosa menimbulkan satu kekacauan dalam tujuan penciptaan manusia yang sesungguhnya tengah berproses menuju Allah. Maksiat menyebabkan berbagai kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah, maupun tempat tinggal seperti ditegaskan Allah dalam surah Rum 41, ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia. Allah ingin agar mereka merasakan sebagian dari apa yang mereka kerjakan supaya mereka kembali“ (Al-Rum 41). Maksiat menyebabkan longsor dan gempa bumi serta hilangnya keberkahan. Suatu kali Rasulullah SAW melewati wilayah bekas perkampungan kaum Tsamud. Beliau melarang para sahabat untuk memasukinya kecuali dalam kondisi menangis serta melarang mereka meminum airnya atau mengambil air dari sumurnya. Karena dampak sial dari maksiat terdapat dalam air. Demikian pula dampak sial maksiat pada kerusakan buah-buahan.

Dampak laik dari maksiat alah kesialan dosa yang juga menimpa orang lain dan kendaraannya. Pelaku maksiat dan orang lain terkena sial dan gelapnya dosa. Abu Hurairah RA berujar, “Ayam mati di kandangnya karena tindakan orang yang zalim“. Sedangkan Mujahid bertutur, “Binatang melaknat orang-orang yang melakukan maksiat saat kekeringan datang dan hujan tidak turun. Mereka berkata, inilah kesialan dari maksiat yang dilakukan manusia.’ Juga Ikramah berkata, “Binatang melata di bumi, termasuk serangga mengeluh, ‘Hujan tidak turun akibat dosa manusia.’ Hukuman atas dosa tidak cukup, sampai makhluk yang tidak berdosa juga melaknatnya.’” Wallahualam. **

Sabtu, 16 Februari 2013

Kewajiban Datang Setelah Adanya Ilmu

penghasilan_haramKewajiban itu ada setelah datang ilmu. Karena Allah tidaklah menyiksa hamba sampai diutus seorang Rasul atau sampai hujjah datang pada dirinya. Jika ada yang melakukan suatu keharaman dan baru mengetahui kalau itu haram, maka ia tidak terkena hukuman. Begitu pula jika ada yang meninggalkan suatu kewajiban dan baru mengetahui kalau itu wajib, maka ia tidak punya kewajiban mengqodho’ (mengulang). Inilah kaedah fikih yang disampaikan Ibnu Taimiyah rahimahullah yang bisa menjawab berbagai polemik sampai pun polemik mengenai pekerjaan haram dan sekarang sudah bertaubat.
Kewajiban Datang Setelah Adanya Ilmu
Ini adalah suatu kaedah yang disampaikan oleh Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
أَنَّ الْحُكْمَ لَا يَثْبُتُ إلَّا مَعَ التَّمَكُّنِ مِنْ الْعِلْمِ
“Hukum tidaklah ditetapkan kecuali setelah sampainya ilmu.” (Majmu’ Al Fatawa, 19: 226).
Beliau juga mengatakan yang maksudnya sama,
وَلَا يَثْبُتُ الْخِطَابُ إلَّا بَعْدَ الْبَلَاغِ
“Tidaklah ditetapkan hukum melainkan setelah sampainya ilmu.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 41).
Maksud Kaedah
Pembebanan syari’ah berupa ibadah dan muamalah ada setelah sampainya ilmu akan wajibnya pada seorang hamba. Jika tidak sampai ilmu tersebut, maka tidaklah wajib. Kewajiban yang ditinggalkan atau perbuatan haram yang dilakukan sebelum sampainya ilmu wajibnya atau bahkan meyakini halalnya dari hasil ijtihad atau taklid (hanya sekedar ikut-ikutan), maka tidak ada kewajiban untuk mengqodho’ kewajiban yang telah ditinggalkan. Ia pun tidak punya kewajiban mengembalikan harta yang sebenarnya haram tapi ia yakini halal. Begitu pula ia tidak dihukum karena telah menerjang yang haram.
Yang terkena kewajiban berarti yang telah mengetahuinya. Adapun bagi yang tidak mampu memperoleh ilmu tersebut karena tidak mampu untuk menunut ilmu atau karena ijtihadnya yang keliru atau karena taklid, maka ia tidak dituntut ketika telah nampak kebenaran atau telah mengetahui hukum.
Akan tetapi, bisa saja mendapatkan hukuman bagi yang meninggalkan sebagian kewajiban walau ia tidak sampai ilmu pada dirinya sebelumnya. Di sini tujuannya supaya ia tidak melampaui batas lagi di masa mendatang. Semacam orang yang memberontak (bughot), maka ia boleh ditumpas supaya tidak lagi berbuat onar di masa mendatang. Lihat bahasan dalam  Al Qowa’id wadh Dhowabith Al Fiqhiyyah lil Mu’amalah Al Maliyah ‘inda Ibnu Taimiyyah, 1: 495-496.
Perselisihan Ulama
Kaedah ini sebenarnya masih diperselisihkan oleh para ulama. Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Ada tiga pendapat dalam masalah apakah dikenai kewajiban bagi seseorang sebelum sampainya ilmu. Ada tiga pendapat dalam madzhab Imam Ahmad dan ulama lainnya. Ada yang mengatakan bahwa tetap ada kewajiban, artinya ibadahnya harus diulangi (diqodho’) [namun tidak terkena dosa, -pen]. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada kewajiban. Ada pula yang berpendapat bahwa tetap ada kewajiban walau belum mengetahui di awal; namun jika dalam masalah hukum nasikh, maka ia masih terkena kewajiban sampai datang hukum yang menghapus[1]. Pendapat yang tepat adalah tidak ada kewajiban mengqodho’ dalam masalah ini.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 41).
Ibnu Taimiyah merojihkan (menguatkan) pendapat dalam perkataan beliau lainnya,
وَالصَّحِيحُ الَّذِي تَدُلُّ عَلَيْهِ الْأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ : أَنَّ الْخِطَابَ لَا يَثْبُتُ فِي حَقِّ أَحَدٍ قَبْلَ التَّمَكُّنِ مِنْ سَمَاعِهِ
Yang tepat dan didukung dalil syar’i bahwasanya tidak ada kewajiban pada seseorang sebelum sampai ilmu padanya(Majmu’ Al Fatawa, 11: 407).
Dalil Kaedah
Kaedah di atas berdasarkan dalil-dalil berikut ini,
لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
Supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).” (QS. Al An’am: 19).
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al Isra’: 15).
لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“Supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. An Nisa’: 165). Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa pembebanan kewajiban itu ada setelah adanya ilmu. Dalil-dalil tersebut disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 22: 41.
Penerapan Kaedah
1- Barangsiapa meninggalkan kewajiban yang sebelumnya ia tidak tahu akan wajibnya atau ia melakukan larangan yang juga ia belum tahu akan terlarangnya, seperti meninggalkan thuma’ninah dalam shalat. Ia baru tahu akan hal ini saat ini, sedangkan shalat-shalat selama bertahun-tahun tidak ia lakukan dengan thuma’ninah, padahal thuma’ninah itu termasuk rukun shalat, maka shalat-shalat yang terdahulu tidak perlu diulangi. Kaji lebih jauh mengenai rukun shalat di sini.
2- Jika ada yang baru mengetahui bahwa memakan daging unta membatalkan wudhu, maka ia tidak perlu mengulangi shalatnya terdahulu karena baru mengetahui akan hukum tersebut saat ini. Baca ulasan lebih lengkap bahwa makan daging unta membatalkan wudhu di sini.
3- Bagi yang baru mengetahui masuknya bulan Ramadhan di siang hari, maka ia punya kewajiban imsak (menahan diri tidak makan dan minum). Namun ia tidak punya kewajiban qodho’ walau di pagi harinya ia telah makan dan minun. Karena taklif yattabi’u al ‘ilma, kewajiban itu ada setelah mengetahui. Ia tidak tahu akan wajibnya sebelumnya, maka ia tidak diperintahkan untuk mengqodho’. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 29: 105.
4- Barangsiapa yang memiliki pekerjaan di tempat riba dan sebelumnya ia mengetahui akan bolehnya. Lalu ia mendapat penerangan bahwa bekerja di tempat tersebut haram. Atau mungkin dahulu pekerjaan tersebut masih dipertentangkan keharamannya, lalu ia tahu haram, maka harta yang telah ia miliki dari pekerjaan haram tersebut sebelum datang ilmu padanya, boleh ia manfaatkan. Demikian pendapat yang tepat dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 29: 267.[2]
Semoga pelajaran kaedah fikih ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Catatan:
1- Bedakan antara orang yang tidak tahu hukum karena sudah berusaha mencari ilmu atau karena berijtihad dengan orang yang tidak peduli untuk belajar ilmu padahal ia mampu untuk belajar.
2- Jika suatu ilmu di mana setiap orang sudah mengetahui wajibnya atau haramnya atau masuk dalam perkara ma'lum minad diini bid doruroh, berarti sudah dianggap setiap orang telah memiliki ilmu akan hal tersebut. Misalnya, terlarangnya makan babi, ini sudah maklum di tengah-tengah kita bahwa babi itu haram.

Referensi:
Al Qowa’id wadh Dhowabith Al Fiqhiyyah lil Mu’amalah Al Maliyah ‘inda Ibnu Taimiyyah, ‘Abdus Salam bin Ibrahim bin Muhammad Al Hushain, terbitan Darut Ta’shil, cetakan pertama, 1422 H.
Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.

@ Sakan 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 5 Shafar 1434 H

Ujian dan Musibah Tanda Cinta Allah

musibah_cobaan_tanda_Allah_cintaInilah yang patut dipahami setiap insan beriman. Bahwa cobaan kadang dapat meninggikan derajat seorang muslim di sisi Allah dan tanda bahwa Allah semakin menyayangi dirinya. Dan semakin tinggi kualitas imannya, semakin berat pula ujiannya. Namun ujian terberat ini akan dibalas dengan pahala yang besar pula. Sehingga kewajiban kita adalah bersabar. Sabar ini merupakan tanda keimanan dan kesempurnaan tauhidnya.
Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).
Juga dari hadits Anas bin Malik, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, hasan kata Syaikh Al Albani).
Faedah dari dua hadits di atas:
1- Musibah yang berat (dari segi kualitas dan kuantitas) akan mendapat balasan pahala yang besar.
2- Tanda Allah cinta, Allah akan menguji hamba-Nya. Dan Allah yang lebih mengetahui keadaan hamba-Nya. Kata Lukman -seorang sholih- pada anaknya,
يا بني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء
Wahai anakku, ketahuilah bahwa emas dan perak diuji keampuhannya dengan api sedangkan seorang mukmin diuji dengan ditimpakan musibah.”
3- Siapa yang ridho dengan ketetapan Allah, ia akan meraih ridho Allah dengan mendapat pahala yang besar.
4- Siapa yang tidak suka dengan ketetapan Allah, ia akan mendapat siksa yang pedih.
5- Cobaan dan musibah dinilai sebagai ujian bagi wali Allah yang beriman.
6- Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia dengan diberikan musibah yang ia tidak suka sehingga ia keluar dari dunia dalam keadaan bersih dari dosa.
7- Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak. Ath Thibiy berkata, “Hamba yang tidak dikehendaki baik, maka kelak dosanya akan dibalas hingga ia datang di akhirat penuh dosa sehingga ia pun akan disiksa karenanya.”  (Lihat Faidhul Qodir, 2: 583, Mirqotul Mafatih, 5: 287, Tuhfatul Ahwadzi, 7: 65)
8- Dalam Tuhfatul Ahwadzi disebutkan, “Hadits di atas adalah dorongan untuk bersikap sabar dalam menghadapi musibah setelah terjadi dan bukan maksudnya untuk meminta musibah datang karena ada larangan meminta semacam ini.”
Jika telah mengetahui faedah-faedah di atas, maka mengapa mesti bersedih? Sabar dan terus bersabar, itu solusinya.

Semoga Allah memberi kita taufik dalam bersabar ketika menghadapi musibah. Wallahul muwaffiq.

Jangan Hanya jadi Islam KTP!

saya_muslim_KTPJika kita masuk Islam atau sudah menganut Islam sejak lama, maka prinsip yang harus dipegang adalah masuklah Islam secara kesuluruhan, jangan hanya sekedar membawa status Islam di KTP, shalat tidak pernah dijalani, juga masih terus melanggengkan tradisi syirik, misalnya.
Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk masuk ke dalam Islam secara kaaffah sebagaimana disebutkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).
Ayat ini menerangkan -kata Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya- perintah pada para hamba Allah yang beriman yang membenarkan risalah Rasul-Nya untuk mengambil (mengamalkan) seluruh ajaran Islam semampunya, termasuk menjalankan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan.
Yang dimaksud ‘udkhulu fis silmi’, masuklah dalam Islam. Demikian kata Al ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas dan lainnya. Sedangkan Robi’ bin Anas katakan bahwa maksudnya adalah laksanakanlah ketaatan.
Adapun maksud ‘kaaffah’ dalam ayat tersebut -sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan selainnya-‘ adalah keseluruhan. Mujahid mengatakan, “Lakukanlah seluruh amalan dan berbagai bentuk kebajikan.” Ibnu Katsir menegaskan bahwa maknanya adalah lakukan seluruh ajaran Islam, yaitu berbagai cabang iman dan berbagai macam syari’at Islam.
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan mengenai ayat tersebut,
ادخلوا في شرائع دين محمد صلى الله عليه وسلم ولا تَدَعَوا منها شيئًا وحسبكم بالإيمان بالتوراة وما فيها.
“Masuklah dalam syai’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan tinggalkan ajarannya sedikit pun, maka itu sudah mencukupkan kalian dari Taurat dan ajaran di dalamnya.”
‘Ikrimah mengatakan bahwa ayat di atas itu turun pada segolongan orang yang baru masuk Islam dari kalangan Yahudi dan lainnya. Mereka adalah seperti ‘Abdullah bin Salaam, Tsa’labah, Asad bin ‘Ubaid di mana mereka meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibolehkan membaca taurat di malam hari, maka Allah memerintahkan untuk menyibukkan diri dalam menjalankan syari’at Islam saja sehingga bisa melupakan ajaran yang lainnya. Keterangan ini dan sebelumnya disarikan dari Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir mengenai tafsir ayat yang kita kaji.
Ketika menjelaskan ayat di atas, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Laksanakanlah seluruh ajaran Islam, jangan tinggalkan ajaran Islam yang ada. Jangan sampai menjadikan hawa nafsu sebagai tuan yang dituruti. Artinya, jika suatu ajaran bersesuaian dengan hawa nafsu, barulah dilaksanakan dan jika tidak, maka ditinggalkan,. Yang mesti dilakukan adalah hawa nafsu yang tunduk pada ajaran syari’at dan melakukan ajaran kebaikan sesuai kemampuan. Jika tidak mampu menggapai kebaikan tersebut, maka dengan niatan saja sudah bisa mendapatkan pahala kebaikan.” Lihat Taisir Al Karimir Rahman karya Syaikh As Sa’di tentang tafsiran ayat di atas.
Pelajaran dari ayat di atas, jika syari’at Islam memerintahkan untuk meninggalkan ajaran dan tradisi syirik, maka kita sami’na wa atho’na. Jangan karena alasan mempertahankan budaya, akhirnya tradisi yang dimurkai Allah tersebut terus dilariskan, seperti kita lihat saat ini masih saja laris manis tradisi ruwatan, sedekah laut, minta keberkahan dengan menggantung jimat dan lainnya yang dijalankan oleh orang yang ‘ngaku Islam’. Baca artikel: Bahaya Jika Kita Berbuat Syirik (1).
Jika Islam memerintahkan untuk melaksanakan ibadah badan yang mulia seperti shalat dan puasa, maka kita terus berusaha menjaganya. Baca artikel: Meninggalkan Shalat Bisa Membuat Kafir.
Jika ajaran Islam memerintahkan kita bersedekah yang wajib dengan zakat pada harta kita, maka kita pun manut dan menjalankannya, tanpa ada rasa kikir dan pelit. Baca artikel: Akibat Enggan Menunaikan Zakat.
Juga ketika Islam memerintahkan beribadah harus sesuai dengan tuntunan Rasul -shallallahu 'alaihi wa sallam-, maka ikutilah, jangan membuat ajaran yang tidak ada tuntunan, atau malah sering berdalil, "Yang penting niatannya baik". Padahal yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah dan Rasul-Nya. Jadi berprinsiplah dalam beribadah harus dengan 'dalil'. Baca artikel: Mengenal Bid'ah (10), Dampak Buruk Bid'ah.
Begitu pula ketika ajaran Islam memerintahkan untuk berlepas diri dari ajaran orang kafir yang berkaitan dengan perayaan mereka, maka kita pun tidak boleh menghadiri, memeriahkan atau sekedar mengucapkan selamat. Baca artikel: Lakum Diinukum wa Liya Diin & Seorang Mukmin Tidak Menghadiri Perayaan Non Muslim.
Oleh karenanya, jangan jadi Islam yang separuh-paruh, alias Islam KTP. Masuklah Islam secara kaaffah, dengan menjalankan seluruh syari’at Islam.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
---
Berkat nikmat Allah @ Riyadh-KSA, 1 Rabi’ul Akhir 1434 H