Social Icons

Pages

Sabtu, 16 Juli 2011

traNsisi yg Perlu Dimengerti

“Jauh di lubuk hati terdalam remaja, mereka mengasihi kita. Hanya mereka tidak tahu cara menyatakannya.”. (Julianto Simanjuntak)


Banyak orang tua mengeluh “Aduh waktu kecil anak saya ini imut-imut…setelah remaja amit-amit…!”. Tidaklah mungkin berharap anak kita kecil terus, imut-imut terus. Mereka tumbuh kembang menjadi seorang remaja lalu dewasa.
Perlu kita pahami bahwa Masa remaja  ini merupakan masa transisi. Selain perubahan fisik, hal sulit lain yang mereka alami adalah perubahan cara berpikir. Mereka juga sedang berada pada tahap menemukan identitas diri, lingkungan yang berubah, serta teman baru di SMP.
Saat  kanak-kanak orangtua relatif menghadapi kegembiraan bersama anak, sebab masa itu masih sangat-sangat tenang. Namun memasuki usia remaja mulai terasa perubahan. Mulai terjadi gejolak. Sehingga kalau tidak siap, ortu cenderung konflik dengan mereka. Untuk mengatasi itu, orangtua perlu berinisiatif untuk berbicara dengan remajanya dengan jujur dan terbuka, terutama tentang perubahan-perubahan yang  mereka alami.
Berbagai tekanan Remaja Masa Kini
Ada banyak persamaan remaja dulu dan masa kini. Namun ada Beberapa tekanan remaja masa kini yang semkin memperberat konflik ortu dan remaja. Andai kita bisa memahami dan membangun ulang jembatan komunikasi, maka bisa meminimalkan konflik dengan mereka.
1.        Mempercayai Tuhan dan otoritas
Secara kognitif,  remaja mulai meninggalkan cara berpikir konkret (nyata) ke berpikir abstrak. Artinya mereka mulai  dapat memproyeksikan pikirannya ke masa depan.  Remaja mulai mempertanyakan sikap, perilaku dan nilai hidup yang tadinya ia terima tanpa keraguan.
Jika remaja mulai  mempertanyakan iman kepercayaannya atau larangan Tuhan. Ini adalah sesuatu yang  normal.  Dia membutuhkan orangtua untuk membicarakan masalah iman dengan baik. Caranya orangtua banyak mendengar dan hindari diri dari memberi  nasihat.  Pada masa ini kita perlu menanamkan rasa cinta kepada Tuhan daripada melarang ini dan itu.
2.        Penerimaan Diri
Selain  mempertanyakan Tuhan, anak kita juga  merasa tidak puas lalu marah.   Dia marah karena lebih melihat kekurangan diri dibandingkan teman-temannya. Dia kadang merasa  Tuhan itu  tidak adil. Anak merasa dia kurang cantik, tidak sepandai temannya, kurang kaya, dan sebagainya. Pertanyaan demikian lebih banyak mengganjal di hatinya.
Karena itu kita perlu membantu anak kita membentuk jati diri yang sehat, yang ciri-cirinya adalah:
a. Harmonis.
Anak bisa mendamaikan semua unsur dalam dirinya, baik yang ia sukai maupun yang tidak disukai. Anak kita bisa menerima keduanya secara harmonis, dan  tidak membenci diri karena kekurangannya.
b. Bermakna.
Anak merasa dirinya berguna dan bermakna bagi orang lain. Karena itu pada masa ini anak perlu dimintai membantu beberapa pekerjaan rumah tangga dan diapresiasi orangtua setiap hari.
c. Mengakui keadaan (kompleksitas) diri.
Anak diajar menerima bahwa kadang-kadang dia kuat, tetapi ada kalanya lemah. Orangtua juga belajar menerima kesalahan dan kegagalan anaknya serta selalu memberi kesempatan kedua jika dia berbuat salah.
3.  Tekanan  Teman
Pada masa remaja  anak-anak anak kita mengalami perubahan relasi. Selama SD mereka bermain dengan teman yang dipilihkan orangtuanya. Cara mereka bersosialisasi seringkali masih diarahkan.
Di usia remaja mereka mau memilih teman sendiri yang cocok dengan seleranya. Relasi dengan teman menjadi lebih kompleks. Pada saat ini remaja menggunakan teman-temannya sebagai wadah untuk menemukan jati dirinya. Kadang anak kita bingung berperilaku di dalam lingkungan yang baru ini. Ketidaktahuan ini membuahkan rasa tidak aman yang akhirnya menambah tekanan padanya untuk mengikuti kehendak dan perilaku kelompoknya (peer-pressure).
Kalau ada konflik dengan orangtua, tekanan itu makin  bertambah. Bisa jadi mereka menghukum  ayah-ibunya dengan cara berteman dengan anak-anak yang tidak disukai orangtuanya.
Pada masa ini remaja juga menempatkan diri sebagai obyek pemikirannya dan menganggap diri sebagai pusat perhatian orang lain (egosentrik). Secara berlebihan ia merasa  tidak ada yang dapat mengerti dirinya. Itu sebabnya masa ini mereka kelihatan norak, dan lebih memilih teman baiknya untuk ngobrol daripada orangtua.
4.  Tekanan Godaan Seksual
Tekanan berat lainnya  adalah soal seksualitas. Godaan ini memasuki kehidupan remaja dalam berbagai cara dan bentuk. Misalnya mimpi erotik, tertarik pada lawan jenis, masturbasi, mimpi basah. Di sisi lain remaja kita berhadapan dengan teknologi internet, limpahnya informasi pornografi,  mulai dari gambar hingga film.
Telepon seluler, BlackBerry, dan lain-lain adalah pintu masuk yang paling gampang. Ditambah lagi, tekanan teman sebaya, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Sungguh, ini masa yang tidak mudah bagi remaja.
Remaja kita bergumul dengan situasi ini. Mereka tahu bahwa nilai-nilai sosial, agama, dan ajaran orangtua banyak yang bertentangan dengan kenyataan yang mereka lihat sehari-hari. Seringkali remaja tidak berdaya menghadapinya. Hendaknya orangtua memahami dan siap mendampingi.
Remaja : Tolong Dampingi Kami
Mengerti tekanan yang dihadapi para remaja adalah salah satu bentuk empati orangtua terhadap anak-anaknya. Walaupun nampaknya mereka tidak memerlukan kehadiran orangtuanya, sebenarnya remaja selalu mencari figur yang memberikan rasa aman dalam diri mereka. Membutuhhkan teman sharing yang enak dan tidak menggurui.
Sebab mereka tidak ingin terus dianggap anak kecil. Tetapi di sisi lain mereka juga tidak mau dibebani tanggung jawab yang belum bisa mereka pikul. Karena itu, sikap orangtua yang tepat adalah menjadi pendamping.  Orangtua siap dan hadir ketika remajanya membutuhkan pertolongan atau informasi, tetapi membiarkan mereka melakukan hal-hal yang dapat mereka kerjakan sendiri. Ortu yang siap membela saat mereka jatuh dan gagal memenuhi harapan orangtua mereka.
Miskin Pengalaman Dengan Ortu Kandung
Sebagai ayah dari dua putra remaja saya melewati pergumulan yang tidak mudah membimbing mereka. Salah satu sumber kesulitan saya membimbing mereka bukan karena saya kurang pengetahuan, tetapi kurang teladan. Saya tidak memiliki hubungan harmonis dengan Ortu saat saya remaja. Sehingga saya kesulitan memperlakukan anak remaja saya sendiri, baik secara emosi maupun waktu berkomuniikasi.
Meski sering konflik, kami puas mendidik mereka. Sebab saling mengerti dan memaafkan menjadi pintu pemulihan. Belaja merendahkan hati dan meminta maaf membuat selalu ada cara saya dan istri memperbaiki komunikasi dengan anak-anak.
Kalau jujur, lebih banyak sukacita dan kegembiraan karena kehadiran mereka. Konflik sering menjadi pintu memperkaya pengertian dan hubungan dengan remaja kita. Kalau kita sedang kesulitan dengan remaja, jangan lupa, masa itu akan lewat. Kita perlu belajar bergumul dan menangis bersama mereka.
Jauh di lubuk hati terdalam anak kita, mereka mengasihi kita. Hanya tidak tahu cara mengkomunikasikannya, terutama jika komunikasi itu pernah menyakitkan hati mereka. Jika itu masih ada, upayakan dulu rekonsiliasi, pulihkan hubungan. Jika konflik itu akut hingga sulit berkomunikasi, temuilah konselor profesional sebagai mediator antara anda dan anak.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar